Rhoma Irama Revolusi Si Raja Dangdut
Rhoma
Irama adalah seorang revolusioner dalam dunia musik Indonesia.
Demikianlah komentar seorang sosiolog AS dalam tesisnya berjudul Rhoma
Irama and the Dangdut Style: Aspect of Contemporary Indonesia Popular
Culture, 1985. Komentar ini tidaklah berlebihan mengingat "Raja Dangdut"
yang mencanangkan semboyan Voice of Moslem pada 13 Oktober 1973 ini
menjadi agen pembaharu musik Melayu yang memadukan unsur musik rock
dalam musik melayu serta melakukan improvisasi atas syair, lirik, kostum
dan penampilan di atas panggung.
Pengalamannya menyanyikan lagu-lagu India sewaktu masih sekolah dasar,
lagu-lagu pop dan rock Barat hingga akhir 1960-an lalu beralih ke musik
Melayu, menjadikan lagu dan musik yang dibawakannya di atas panggung
lebih dinamis, melodis dan menarik.
Kehidupannya tidak jauh dari terpaan gosip dan komentar pro dan kontra
terhadap berbagai sikap yang diambilnya. Katakan saja, fenomena goyangan
Inul yang dikecamnya dan dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai
agama. Bahkan belum lama ini, sekitar bulan Mei 2003 lalu, ia digosipkan
menjalin hubungan "istimewa" dengan artis dangdut, Lely Angraeni
(Angel). Menanggapi hal itu, Sang Raja Dangdut yang sudah puluhan tahun
merajai belantara dunia artis tetap tenang memberikan penjelasan kepada
masyarakat perihal gosip tersebut.
Pria
"ningrat" kelahiran Tasikmalaya, 11 Desember 1946 ini merupakan putra
kedua dari empat belas bersaudara, delapan laki-laki dan enam perempuan
(delapan saudara kandung, empat saudara seibu dan dua saudara bawaan
dari ayah tirinya).
Ayahnya, Raden Burdah Anggawirya, seorang komandan gerilyawan Garuda
Putih, memberinya nama "Irama" karena bersimpati terhadap grup sandiwara
Irama Baru asal Jakarta yang pernah diundangnya untuk menghibur
pasukannya di Tasikmalaya. Sebelum pindah ke Tasikmalaya, keluarganya
tinggal di Jakarta dan di kota inilah kakaknya, Haji Benny Muharam
dilahirkan.
Setelah beberapa tahun tinggal di Tasikmalaya, keluarganya termasuk
kakaknya, Haji Benny Muharam, dan adik-adiknya, Handi dan Ance, pindah
lagi ke Jakarta lalu tinggal di Jalan Cicarawa, Bukit Duri, kemudian
pindah ke Bukit Duri Tanjakan. Di sinilah mereka menghabiskan masa
remaja sampai tahun 1971 lalu pindah lagi ke Tebet.
Semenjak kecil Rhoma sudah terlihat bakat seninya. Tangisannya terhenti
setiap kali ibundanya, Tuti Juariah menyenandungkan lagu-lagu. Masuk
kelas nol, ia sudah mulai menyukai lagu. Minatnya pada lagu semakin
besar ketika masuk sekolah dasar. Menginjak kelas 2 SD, ia sudah bisa
membawakan lagu-lagu Barat dan India dengan baik. Ia suka menyanyikan
lagu No Other Love, kesayangan ibunya, dan lagu Mera Bilye Buchariajaya
yang dinyanyikan oleh Lata Maagiskar. Selain itu, ia juga menikmati
lagu-lagu Timur Tengah yang dinyanyikan Umm Kaltsum.
Bakat musiknya mungkin berasal dari ayahnya yang fasih memainkan
seruling dan menyanyikan lagu-lagu Cianjuran, sebuah kesenian khas
Sunda. Selain itu, pamannya yang bernama Arifin Ganda suka mengajarinya
lagu-lagu Jepang ketika Rhoma masih kecil.
Karena usia Rhoma dengan kakaknya Benny tidak berbeda jauh, mereka
selalu kompak dan pergi berdua-duaan. Berbeda dengan kakaknya yang lebih
sering malas ikut mengaji di surau atau rumah kyai, Rhoma selalu
mengikuti pengajian dengan tekun. Setiap kali ayah ibunya bertanya
apakah kakaknya ikut mengaji, Rhoma selalu menjawab ya. Ke sekolahpun
mereka berangkat bersama-sama. Dengan berboncengan sepeda, keduanya
berangkat dan pulang ke sekolah di SD Kibono, Manggarai.
Di bangku SD, bakat menyanyi Rhoma semakin kelihatan. Rhoma adalah murid
yang paling rajin bila disuruh maju ke depan kelas untuk menyanyi. Dan
uniknya, Rhoma tidak sama dengan murid-murid lain yang suka malu-malu di
depan kelas. Rhoma menyanyi dengan suara keras hingga terdengar sampai
ke kelas-kelas lain. Perhatian murid-murid semakin besar karena Rhoma
tidak menyanyikan lagu anak-anak atau lagu kebangsaan, melainkan
lagu-lagu India.
Bakatnya sebagai penyanyi mendapat perhatian penyanyi senior, Bing
Slamet karena melihat penampilan Rhoma yang mengesankan ketika
menyanyikan sebuah lagu Barat dalam acara pesta di sekolahnya. Suatu
hari ketika Rhoma masih duduk di kelas 4, Bing membawanya tampil dalam
sebuah show di Gedung SBKA (Serikat Buruh Kereta Api) di Manggarai. Ini
merupakan pengalaman yang membanggakan bagi Rhoma.
Sejak itu, meski belum berpikir untuk menjadi penyanyi, Rhoma sudah
tidak terpisahkan lagi dari musik. Dengan usaha sendiri, ia belajar
memainkan gitar hingga mahir. Karena saking tergila-gilanya dengan
gitar, Rhoma sering membuat ibunya marah besar. Setiap kali ia pulang
sekolah, yang pertama dia cari adalah gitar. Begitu pula setiap kali ia
keluar rumah, gitar hampir selalu ia bawa.
Pernah suatu kali, ibunya menyuruh Rhoma menjaga adiknya, tetapi Rhoma
lebih suka memilih bermain gitar. Akibat ulahnya itu, ibunya merampas
gitarnya lalu melemparkannya ke arah pohon jambu hingga pecah. Kejadian
itu membuat sedih Rhoma karena gitar adalah teman nomor satu baginya.
Dalam perkembangannya dalam mendalami musik, Rhoma mulai menyadari bahwa
meskipun ayah dan ibunya - pasangan berdarah ningrat - adalah penggemar
musik, mereka tetap menganggap dunia musik bukanlah sesuatu yang patut
dibanggakan atau dijadikan sebuah profesi. Ibunya sering meneriakkan
"berisik" setiap kali ia menyanyi dan beranggapan bahwa musik akan
menghambat sekolahnya. Kenyataan ini membuat bakat musik Rhoma justru
semakin berkembang dari luar rumah karena di dalam rumah ia kurang
mendapat dukungan.
Sewaktu Rhoma masih kelas 5 SD tahun 1958, ayahnya meninggal dunia. Sang
ayah meninggalkan delapan anak, yaitu, Benny, Rhoma, Handi, Ance, Dedi,
Eni, Herry, dan Yayang. Ketika kakaknya, Benny masih duduk di kelas 1
SMP, ibunya menikah lagi dengan seorang perwira ABRI, Raden Soma Wijaya,
yang masih ada hubungan famili dan juga berdarah ningrat. Ayah tirinya
ini membawa dua anak dari istrinya yang terdahulu dan setelah menikah
dengan Ibu Rhoma, sang ibu melahirkan dua anak lagi.
Ketika ayah kandungnya masih hidup, suasana di rumahnya feodal.
Sehari-hari ayah dan ibunya berbicara dengan bahasa Belanda. Segalanya
harus serba teratur dan menggunakan tata krama tertentu. Para pembantu
harus memanggil anak-anak dengan sebutan Den (raden). Anak-anak harus
tidur siang dan makan bersama-sama. Ayahnya juga tak segan-segan
menghukum mereka dengan pukulan jika dianggap melakukan kesalahan,
misalnya bermain hujan atau membolos sekolah.
Keadaan keluarga Rhoma di Tebet waktu itu memang tergolong cukup kaya
bila dibandingkan dengan masyarakat sekitar. Rumahnya mentereng dan
mereka memiliki beberapa mobil seperti Impala, mobil yang tergolong
mewah di zaman itu. Rhoma juga selalu berpakaian bagus dan mahal.
Namun, suasana feodal itu tidak lagi kental setelah ayah tiri-nya hadir
di tengah-tengah keluarga mereka. Bahkan dari ayah tiri inilah, di
samping pamannya, Rhoma mendapat 'angin' untuk menyalurkan bakat
musiknya. Secara bertahap ayah tirinya membelikan alat-alat musik
akustik berupa gitar, bongo, dan sebagainya.
Dunia Rhoma di masa kanak-kanak rupanya bukan hanya dunia musik. Rhoma
juga suka adu jotos dengan anak-anak lain. Lingkungan pergaulannya
ketika itu tergolong keras. Anak-anak saat itu cenderung mengelompok
dalam geng, dan satu geng dengan geng lainnya saling bermusuhan, atau
setidaknya saling bersaing. Dengan demikian, perkelahian antar geng
sering tak terhindarkan.
Di Bukitduri tempat tinggalnya, hampir setiap kampung di daerah itu
terdapat geng (kelompok anak muda). Di Bukitduri ada BBC (Bukit Duri
Boys Club), di Kenari ada Kenari Boys, Cobra Boys, dan sebagainya. Dari
Bukitduri Puteran, dan dari Manggarai banyak anak muda yang bergabung
dengan Geng Cobra. Geng-geng ini saling bermusuhan sehingga keributan
selalu hampir terjadi setiap kali mereka bertemu.
Satu hal yang cukup menonjol pada diri Rhoma adalah teman-temannya
hampir selalu menjadikan Rhoma sebagai pemimpin. Tentu saja, bila
gengnya bentrok dengan geng lain, Rhomalah yang diharapkan tampil paling
depan, untuk berkelahi. Meskipun pernah menang beberapa kali, Rhoma
juga sering mengalami babak belur, bahkan pernah luka cukup parah karena
dikeroyok 15 anak di daerah Megaria.
Ketika ia masuk SMP, tempat-tempat berlatih silat semakin marak. Tetapi,
bagi Rhoma, ilmu bela diri nasional ini tidaklah asing, karena sejak
kecil ia sudah mendapat latihan dari ayahnya dan beberapa guru silat
lainnya. Rhoma pernah belajar silat Cingkrik (paduan silat Betawi dan
Cimande) pada Pak Rohimin di Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Rhoma juga
pernah belajar silat Sigundel di Jalan talang, selain beberapa ilmu
silat yang lain. Bila terjadi perkelahian antar geng, para anggota geng
saling menjajal ilmu silat yang telah mereka pelajari.
Karena kebandelannya itulah maka Rhoma beberapa kali harus tinggal
kelas, sehingga karena malu maka ia acapkali berpindah sekolah. Kelas
Tiga SMP dijalaninya di Medan. Ketika itu ia dititipkan di rumah
pamannya. Tapi, tak berapa lama kemudian ia sudah pindah lagi ke SMP
Negeri XV Jakarta.
Kenakalan Rhoma terus berlanjut hingga bangku SMA. Sewaktu bersekolah di
SMA Negeri VIII Jakarta, ia pernah kabur dari kelas lewat jendela
karena ingin bermain musik dengan teman-temannya yang sudah menunggunya
di luar. Kegandrungannya pada musik dan berkelahi di luar dan dalam
sekolah membuatnya acapkali keluar masuk sekolah SMA. Selain di SMA
Negeri VIII Jakarta, ia juga pernah tercatat sebagai siswa di SMA PSKD
Jakarta, St Joseph di Solo, dan akhirnya ia menetap di SMA 17 Agustus
Tebet, Jakarta, tak jauh dari rumahnya.
Di masa SMA lah Rhoma sempat melewati masa-masa sangat pahit. Ia
terpaksa menjadi pengamen di jalanan Kota Solo. Di sana dia ditampung di
rumah seorang pengamen bernama Mas Gito. Sebenarnya, sebelum
"terdampar" di Solo, ia berniat hendak belajar agama di Pesantren
Tebuireng Jombang. Namun, karena tidak membeli karcis, Rhoma, Benny
kakaknya, dan tiga orang temannya, Daeng, Umar, dan Haris harus main
kucing-kucingan dengan kondektur selama dalam perjalanan. Daripada terus
gelisah karena takut ketahuan lalu diturunkan di tempat sepi, mereka
akhirnya memilih turun di Stasiun Tugu Jogja. Dari Jogja, mereka naik
kereta lagi menuju Solo.
Di Solo, Rhoma melanjutkan sekolahnya di SMA St. Joseph. Biaya sekolah
diperolehnya dari mengamen dan menjual beberapa potong pakaian yang
dibawanya dari Jakarta. Namun, karena di Solo sekolahnya tidak lulus,
Rhoma harus pulang ke Jakarta dan melanjutkan sekolah di SMA 17 Agustus
sampai akhirnya lulus tahun 1964. Ia kemudian melanjutkan kuliah di
Fakultas Sosial Politik Universitas 17 Agustus, tapi hanya bertahan satu
tahun karena ketertarikan Rhoma kepada dunia musik sudah terlampau
besar.
Pada tahun tujuh puluhan, Rhoma sudah menjadi penyanyi dan musisi
ternama setelah jatuh bangun dalam mendirikan band musik, mulai dari
band Gayhand tahun 1963. Tak lama kemudian, ia pindah masuk Orkes
Chandra Leka, sampai akhirnya membentuk band sendiri bernama Soneta yang
sejak 13 Oktober 1973 mulai berkibar. Bersama grup Soneta yang
dipimpinnya, Rhoma tercatat pernah memperoleh 11 Golden Record dari
kaset-kasetnya.
Tahun 1972, ia menikahi Veronica yang kemudian memberinya tiga orang
anak, Debby (31), Fikri (27) dan Romy (26). Tetapi sayang, Rhoma
akhirnya bercerai dengan Veronica bulan Mei 1985 setelah sekitar setahun
sebelumnya Rhoma menikahi Ricca Rachim - partner-nya dalam beberapa
film seperti Melodi Cinta, Badai di Awal Bahagia, Camellia, Cinta
Segitiga, Melodi Cinta, Pengabdian, Pengorbanan, dan Satria Bergitar.
Hingga sekarang, Ricca tetap mendampingi Rhoma sebagai istri.
Kesuksesannya di dunia musik dan dunia seni peran membuat Rhoma sempat
mendirikan perusahaan film Rhoma Irama Film Production yang berhasil
memproduksi film, di antaranya Perjuangan dan Doa (1980) serta Cinta
Kembar (1984).
Kini, Rhoma yang biasa dipanggil Pak Haji ini, banyak mengisi waktunya
dengan berdakwah baik lewat musik maupun ceramah-ceramah di televisi
hingga ke penjuru nusantara. Dengan semangat dan gaya khasnya, Rhoma
yang menjadikan grup Soneta sebagai Sound of Moslem terus giat meluaskan
syiar agama.